Saat RS Menolak Operasi Pasien HIV

KOMPAS.com  Simon Sianipar (32), warga Medan Selayang akhirnya harus tidur kembali di rumahnya setelah 27 hari dirawat di RS Pirngadi Medan tanpa penanganan berarti.  Harapannya agar kanker usus yang ia derita segera diangkat kini sirna setelah rumah sakit pemerintah itu menolak mengoperasi dirinya dengan alasan peralatan operasi rumah sakit terbatas.

Yang menyakitkan bagi Simon, selama berminggu-minggu ia menaruh harapan akan terkurangi sakitnya. Dengan setia ia menunggu jadwal operasi keluar. Nama-nama dokter yang akan mengoperasinya pun sudah ditangan. Namun tiba-tiba semua batal, karena ia adalah penderita HIV.  

“Saya open status supaya rumah sakit hati-hati. Tapi kenapa setelah dirawat begitu lama baru dikatakan RS tak bisa melayani operasi,” tutur penderita HIV yang mau namanya ditulis lengkap di media itu kelu, Selasa (24/5/2011).

“Kini semua harus dimulai dari awal lagi. Kami dirujuk ke RSUP Adam Malik. Kenapa tidak dari dulu dirujuk, setelah hampir sebulan kami menginap di Pirngadi,” tutur Maria, sukarelawan pendamping HIV/AIDS di RS Pirngadi, Medan.

Selama dirawat di bangsal rumah sakit pemerintah itu , Simon hanya mendapatkan obat antibiotik. Ia tidak bisa diinfus karena jarum akan membuat tubuhnya bengkak. Ia juga hanya mengkonsumsi susu dan bubur lunak karena tidak bisa buang air besar. Perutnya sakit luar biasa. Operasi setidaknya akan mengurangi rasa sakit itu.

Seluruh biaya perawatan di bangsal ditanggung oleh dana talangan kesehatan Pemerintah Provinsi Sumut (dana tambahan asuransi kesehatan masyarakat miskin) setelah Maria pontang-panting mengurus administrasinya. Kini Maria pun harus pontang-panting mengurusnya kembali karena rumah sakitnya berpindah.

Saat pertama kali diberitahu bahwa rumah sakit tak bisa mengoperasi, Senin lalu, kondisi Simon tampak kacau. Namun ia pasrah.

“Perawat hanya mengatakan tak tersedia ruang bedah yang memadai untuk pasien HIV/AIDS. Sebab setelah ruang bedah digunakan oleh penderita HIV/AIDS, ruangan harus disterilkan selama tiga hari, berbagai peralatan harus dibuang dan tidak bisa dipakai kembali. Sementara pasien yang akan melakukan operasi mengantri. Rumah sakit tak mau rugi,” kata Maria.

Surat rujukan itu datang Senin sore ditandatangani Kepala Bagian Pelayanan Umum Risma Sinaga. Surat menyatakan tak tersedia peralatan operasi yang memadai sehingga pasien dirujuk ke RS Adam Malik.

Simon pun pergi ke RS Adam Malik, dan dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Setelah proses administrasi beres, ia ternyata tak bisa rawat inap karena belum ada jaminan siapa yang menanggung biayanya.

“Senin malam akhirnya Simon pulang dan Maria pun mengurus (lagi) surat jaminan dari program dana talangan kesehatan Pemerintah Provinsi Sumut. Kami berharap semoga ini tak ditolak lagi, kami ingin dia cepat membaik,” kata Maria yang dengan gigih memperjuangkan hak kesehatan penderita HIV.

Menurut Maria, pernah seorang penderita HIV akhirnya tak membuka statusnya setelah lelah dipingpong. Ia masuk ke rumah sakit swasta untuk operasi usus buntu layaknya pasien umum lain, dan justru mendapat pelayanan memadai.

Simon diketahui menderita HIV setelah memeriksakan diri enam tahun lalu. Ia diduga mendapatkan virus yang menggerogoti kekebalan tubuh itu dari jarum suntik. Ia masih bersemangat meneruskan hidupnya bersama orang dengan HIV/AIDS (ODHA) lainnya.

Direktur RSUD Pirngadi, Medan Dewi Fauziah Syahnan mengatakan pihaknya tidak menolak, hanya memang ketersediaan peralatan bedah sangat terbatas. “Pasien HIV penyakit dalam kami terima, kami juga punya layanan VCT. Hanya untuk bedah, alat-alat minim sekali, dan belum komplit,” kata Dewi.

Untuk itu, pihak rumah sakit merujuk Simon ke rumah sakit tipe A yang memang lebih komplit dalam menangani pasien yakni ke RSUP Adam Malik. RS Pirngadi adalah RS tipe B.

Data Medan Plus menunjukkan lebih dari 7.200 orang terinfeksi HIV/AIDS di Sumut pada Desember 2010. Itu baru yang terdeteksi. Penderita pun kini merambah anak-anak dan bayi.

Hanya saja, Simon menyayangkan info itu diberikan setelah selama 27 hari tak jelas nasibnya. Dana talangan kesehatan yang semestinya bisa digunakan orang lain pun membengkak hanya untuk dirinya, karena lambatnya informasi penanganan atas dirinya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *