Penanggulangan AIDS Masih Tergantung Dana Asing

Senin, 30 Agustus 2010 | 18:53 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta – Masih bergantungnya dana asing terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia mengancam keberlanjutan terapi bagi Orang yang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA)di Indonesia. “80 persen dana masih dari luar negeri. Pemberiannya bisa saja berhenti,” kata Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam seminar di Jakarta, Senin (30/8) 

Situasi ini, Ia melanjutkan, membahayakan bagi ketersedian obat bagi 218 ribu orang yang sudah terinfeksi HIV. Ia mengusulkan ada penambahan anggaran dan juga perlu peningkatan pemanfaatan anggaran dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 
Menurut Nafsiah, upaya pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang telah dijalankan sejak 2007 lalu bagi 230 ribu penderita narkoba suntik telah berhasil menghemat biaya dan mengurangi korban baru. 
Komisi mengukur ada kebutuhkan biaya 50 US$ per orang per tahun bagi layanan alat suntik steril dan 132 US$ per orang per tahun bagi Program Terapi Rumatan Metadon. Total biaya harm reduction menghabiskan 15,7 juta US$. Nilainya jauh lebih kecil ketimbang total biaya penanganan HIV baru di kalangan penasun yang bisa mencapai US$ 92 juta. “Dengan harm reduction bisa 140 ribu orang yang terselamatkan per tahunnya, dan menghemat dana US$ 76 juta,” papar Nafsiah.
Sayangnya, kata dia, program pengurangan dampak buruk seperti dengan pembukaan akses informasi, pencegahan penularan, dan pemulihan, justru dibiayai luar negeri. Padahal pengurangan dampak buruk, justru upaya nyata yang bisa mencegah penularan penyakit dengan biaya yang lebih murah ketimbang pengobatan. Ia berharap anggota Dewan berperan dalam sisi penganggaran soal ini.
Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Azis menyatakan anggaran kementerian kesehatan terus meningkat. Dari Rp 6,51 triliun tahun 2005, kini menjadi Rp 21,39 triliun di 2010. Sementara anggaran pada kementerian/lembaga berdasarkan fungsi kesehatan juga terjadi peningkatan dari Rp 5,84 (2005) triliun menjadi Rp 18 triliun (2010). Tapi, Harry melanjutkan, AIDS tidak termasuk program utama dalam penyaluran anggaran, tapi digabungkan dengan program kesehatan secara umum.
Meski AIDS tidak secara khusus jadi program utama kesehatan, secara pribadi, Harry merasa perlu untuk menggagas adanya Komite Parlemen untuk HIV-AIDS. Komite ini nantinya diharapkan memberi kebebasan yang lebih besar untuk penyusunan legislasi HIV-AIDS, dukungan dalam alokasi anggaran dan melakukan pengawasan.
Dianing Sari

 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *