Liputan Diskusi DivAs “Science of Gender”

Science of Gender jadi topik perbincangan diskusi DivAs di GAYa NUSANTARA (27/03/2012), pukul 18.30 – 21.00 wib. Andreas Unair bertindak sebagai fasilitator, didampingi Tiwi Unair seksi dokumentasi. Diikuti 22 peserta dari mahasiswa Unair, Ubaya, Dipayoni, GN, dan volunteer di GN. Terbagi 2 sesi: pemutaran film Science of Gender, dilanjutkan diskusi.

Film Science of Gender mengangkat persoalan gender dari ragam aspek: biologis, psikologis, konstruksi sosial, perilaku (behavior), hukum, dan budaya. Mengangkat 3 kasus nyata. Pertama, seorang yang baru menyadari interseks pasca cedera punggung dan melakukan tes kesehatan menyeluruh. Kedua, anak usia 6 tahun yang terlahir laki-laki (memiliki penis), tapi meyakini dirinya perempuan, dengan menolak maskulinitas. Ketiga, Hijra, yaitu transgender di India yang diakui agama Hindu berdasar sejarah Dewa Khrisna, lambang laki-laki bertransformasi perempuan untuk tidur dengan laki-laki.

“Kenapa ada pengkotakan laki-laki dan perempuan, padahal di film tadi gender banyak sekali, termasuk di dunia hewan dan tumbuhan?” pancing Andreas. Khanis menanggapi,”Ini menyangkut sejarah panjang peradaban manusia. Di film tadi disinggung zaman Victorian yang melihat eksistensi manusia sebatas laki-laki dan perempuan saja. Aspek agama, proses kristenisasi dan Islam fundamentalis persepsinya sama. Modernitas juga melanggengkan simbol biner, seperti pakaian laki-laki dan perempuan, tidak ada pakaian transgender. Pemikiran seperti ini direproduksi terus-menerus, bahkan sampai sekarang. Dan film tadi berupaya melakukan gugatan dengan fakta dan kajian ilmiah mendalam.”

Yudha menyampaikan kegelisahannya,”Pertanyaan mendasar, sebetulnya pemilahan 2 gender karena relasi kuasa, atau malah tanpa sadar kita sendiri melakukannya?” Edyth mengomentari,”Susah menjawabnya, sebab ketika saya tergerak dandan perempuan, hanya melihat dua itu. Bapak saya laki-laki, ibu saya perempuan. Saya tidak ingin tampil seperti bapak, lalu mengikuti ibu, mulai cara dandan, pakaian, dan lain-lain.” Sigit menambahkan,”Kalau pakai teori hegemoni, sejak lahir kita terhegomoni heteronormativitas, sulit menghilangkannya. Contohnya, dalam relasi gay masih ada pertanyaan siapa jadi laki-laki, siapa jadi perempuan. Penting sekali memikir ulang pemikiran kita sendiri dengan melihat gender di lingkup lebih luas.” (Antok Serean)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *