HIV & AIDS, GENDER & HAM

(diambil dari blog JACKY)

 Pengalaman selama 3 tahun terakhir dalam melakukan proses penghapusan stigma dan diskriminasi dalam konteks HIV&AIDS menggariskan catatan pembelajaran penting bahwa usaha tersebut akan sia-sia jika proses KIE dan advokasi tidak dibarengi dengan semangat mengintegrasikan nalar dan gerakan HIV&AIDS dengan nalar dan gerakan seksualitas, gender dan HAM.

Logika yang dibangun adalah bahwa sebaik apapun tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan HIV&AIDS, jika di sana masih ditemukan ketimpangan gender, diskreditasi identitas gender yang tidak mengikuti regulasi gender binair, pemampatan identitas dan orientasi seksual pada heteronormativity (compulsory heterosexual), dan pengabaian HAM terhadap komunitas yang selama ini dimarjinalkan secara seksual dan gender, maka stigma dan diskriminasi dalam lingkup HIV&AIDS akan tetap terpelihara dan bahkan jutsru akan semakin menguat.

Pada level yang lebih operasional, parsialitas gerakan HIV dari gerakan seksualitas, gender dan HAM jutsru akan semakin memperbesar persebaran epidemi. Ketika pegiat HIV&AIDS asik masuk dengan program dan terma pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV, di sana para pegiat gerakan perempuan dan HAM juga sedang berjibaku dengan wilayahnya sendiri seperti KDRT, KTP atau KBG, pengarusutmaan gender, pelindungan hak (khususnya sipol), kemiskinan dan konservasi lingkungan. Kondisi ”saling sandera antar gerakan” semacam ini seakan-akan menampik dan mengacuhkan fakta seperti, untuk menyebut beberapa,

(a) fakta prevalensi KDRT sangat berkait dengan prevalensi HIV&AIDS atau sebaliknya, dan

(b) fakta kemiskinan dan pelanggaran hak sipol memiliki andil besar dalam memeperbesar kerentanan paparan HIV atau sebaliknya.

Oleh karena itu, program pencegahan laju epidemi dan penghapusan stigma-diskriminasi sudah niscaya disenergikan dengan usaha perjuangan kesetaraan gender, pengakuan dan perlindungan hak sipol dan ekosob, program penghapusan kemiskinan dan gerakan sosial lain yang berorientasi pada penguatan masyarakat sipil. Keniscayaan ini bukan saja berangkat dari semakin banyaknya instrumen dan standar internasional tentang pembangunan dunia, akan tetapi lebih karena fakta kemanusiaan bahwa dalam tubuh seorang manusia, identitas bisa banyak dan dinamis, sedinamis isu-isu/proyek sosial yang ”mengontrolnya”. Dalam satu tubuh, bisa saja identitas sebagai ”ODHA”, pada saat yang sama berkelindan dengan identitas lain sebagai ”Pekerja Seks”, atau ”waria”, atau ”korban kekerasan berbasis gender”, atau ”korban pelanggaran hak sipol/ekosob” atau bahkan korban ”pencemaran lingkungan”, dan ”korban pemiskinan”. Maka, memaksakan satu identitas untuk lebih muncul demi keberlangsungan satu jenis program, misalnya HIV&AIDS saja, adalah sebuah upaya reduksi nilai kemanusiaan dengan mekanisme kontrol atas tubuh.

 

Nalar integrasi antar isu dan gerakan ini seringkali terhadang pada sistem sosial, budaya, agama, dan politik yang merajut kondisi ketimpangan gender, keacuhan dan kriminalisasi pada isu HIV&AIDS, dan heteronormativitas. Rajutan penghalang ini menjadi sebuah tantangan yang harus dijawab dalam rangkaian program terintegrasi dengan melakukan intervensi pada

(1) sistem politik dengan representasi parpol dan para wakilnya di Parlemen, organisasai pemerintah,

(2) Sosial & budaya dengan reprsentasi organisasi sosial dan pegiat seni tradisi, dan

(3) sistem agama dengan repsentasi lembaga atau tokoh agama.

oleh: Maesur zaky, MA

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *