11 November 10 Tahun Lalu

Sekelompok remaja masjid menganiaya sebuah komunitas yang sedang berseminar. Agama digunakan sebagai kedok untuk melakukan penggarongan?

Aksi massa brutal kembali terjadi. Kali ini di Yogyakarta, Sabtu, 11 November silam. Puluhan orang yang mengaku dari berbagai organisasi berbau agama memorak-porandakan Wisma Hastorenggo, Kaliurang. Para penyerang, yang sebagian be-sar berusia remaja, juga menganiaya para tamu yang sedang mengadakan acara di sana.

Malam ilu sedang berlangsung acara kumpul-kumpul. Sesuai dengan nama kelompok mereka, acara itu bertajuk Kerlap-Kerlip Warna Kedaton 2000. Selain diisi dengan penyuluhan tentang bahayanya HIV AIDS, ditampilkan pula pergelaran busa-na pria dan wanita. Pergelaran dalam rangka ikut memperingati Hari AIDS Dunia itu diikuti sekitar 350 peserta—gay, waria, dan hetero—dari dalam dan luar negeri.

Menurut Yayuk, saksi mata, ketika para pe­serta sedang berderai tawa menyaksikan per­gelaran busana, sekitar pukul 21.20, tiba-tiba dari arah pintu bertebaran puluhan pria ber-senjata golok, ketapel, dan pentungan. Sambil berteriak “bajingan”, gerombolan itu menerobos masuk ruangan. Sontak keributan dan teriakan histeris para peserta bergema. Dua waria yang sedang berlenggak-lenggok di atas panggung langsung terbirit-birit lari tanpa memedulikan pakaian yang dikenakannya

Bagaimana tidak. Para penyerang itu meng-hancurkan apa saja yang mereka jumpai: meja, lampu, bahkan sound system. Sebagian lagi memukuli bahkan mengejar peserta sampai ke luar gedung. Beberapa mobil dan motor yang sedang diparkir di halamanjuga jadi sasaran perusakan. Jean Pascal Elbaz, Direktur Lembaga Indonesia-Francis Yogyakarta. yang hadir dalam acara itu, juga tidak luput dari sasaran penganiayaan.

 Saksi mata juga melihat sebagian penyerang itu merampas dompet, handphone, dan tas milik peserta. Setelah merusak dan mengania­ya, setengah jam kemudian mereka kabur menggunakan bus dan motor. Puluhan peserta mengalami luka-luka, sebagian cukup serius hingga harus dirawat di Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, Sleman. “Berdasarkan pengakuan 57 penyerang yang kami tangkap, mereka dari kelompok Remaja Masjid Yogya-karta, Gerakan Pemuda Ka’bah, GerakanAnti-Maksiat dan Darwis,” ujar Kapolres Sleman, Superintenden Djoko Subroto.

 Mengapa mereka diserang? Menurut Ketua Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Yogyakarta, Muhammad Jazir, seminar itu ditengarai hanya sebagai kedok ajang pesta seks para gay. Sebelum acara berlangsung, Ja­zir menegaskan, anak buahnya sempat pura-pura menanyakan kepada panitia, apakah acara itu menyediakan waria yang bisa “dipakai”. “Mereka menjawab ‘ya, ya, bisa” tutur Jazir.

Selain itu, kata Jazir lagi, di lokasi juga di-temukan kondom dan jeli. Para remaja itu juga memergoki sepasang gay “bergumul” di salah satu ruang vila tersebut. “Jika acara itu murni penyuluhan AIDS, mengapa dilaksanakan sampai larut malam dan ada pesta segala?” ujar Jazir. Dengan alasan itulah para remaja itu melakukan penertiban. “Saya tak mengingin-kan terjadinya kekerasan, lapi kalau dipaksa melakukan itu untuk membela agama, kami tidak keberatan.” Kalanya.

 Tuduhan dan keterangan Jazir itu dibantah panilia penyelenggara dari Lentera Sahaja— LSM yang benaung di bawah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Yogyakarta. “Acara ilu murni kegiatan kesenian dan penyu­luhan tentang HIV AIDS,” kala salah satu pa­nitia yang tidak mau namanya disebut. Tuding-an adanya pasangan gay yang kepergok sedang berhubungan intimjuga dibantah. “Semua pa-nitia berkumpul di ruangan utama tempat aca­ra berlangsung,” sumber itu menandaskan lagi.

Bantahan ini dibenarkan Djoko. Selain ke-giatan itu sudah mempunyai izin, saat acara berlangsung dua anggotanya berada di sana menjaga. Kecil kemungkinan para polisi itu membiarkan kemesuman para gay itu terjadi.

 Terbit kecurigaan bahwa kegiatan membubarkan acara tersebut tampaknyajuga tidak semata-mata bertujuan memberantas kemaksiat-an. Aksi merampas dompet dan perhiasan milik peserta menunjukkan kelompok itu tidak steril dari kaum berandalan. Aroma minuman keras yang menyebar dari mulut penyerang, seperti diluturkan salah satu peserta, semakin menguatkan dugaan itu.

 Tidak aneh jika muncul tuduhan ada maksud lain di balik itu. Bukan tidak mungkin, dengan dalih agama, para remaja itu dipakai untuk memenuhi hasrat kepentingan oknum tertentu. “Mereka mengaku hanya diajak teman untuk membubarkan acara maksiat, tanpa maksud merusak dan menganiaya,” kata Djoko.

 Selain itu, dari mana para remaja itu tahu ada kegiatan para gay? Biasanya, acara sema-cam itu hanya diumumkan kepada kalangan terbatas, yakni lingkaran itu sendiri. Belakang-an diketahui. beberapa hari sehelum acara dige-ar. salah satu takmir Masjid Jogokaryan, Kota-gede. Yogyakarta, menerima surat kaleng yang menyebut ada pesta seks para gay yang ber-kedok penyuluhan AIDS. “Saya melihat me-mang ada pihak lain yang ikut campur,” ujar Djoko Subroto. Saat didesak siapa kelompok yang dimaksud. Kapolres Sleman itu menolak berkomentar lebih jauh dengan alasan sedang melakukan penyelidikan.

 Mungkin karena memperhitungkan kekuatan politik kelompok itu, polisi belum terlihat bertindak tegas. “Kami sulit membuktikan senjata dan pentungan itu milik siapa,” kilah Djo­ko, Alasan itu sulit diterima akal sehat, meng-ingat dua anak buahnya berada di lokasi saat kejadian berlangsung.

 Ketidak tegasan polisi seperti ini membuat para pengusaha jasa hiburan merasa cemas mcnghadapi bulan puasa, Maklum. ancaman terselubung sudah dikumandangkan oleh ke­lompok lain- Front Pembela Islam. “Sehubung-an dengan Ramadan, Front Pembela Islam minta agar tempat hiburan malam ditutup sebulan penuh,” kata Reza Pahlevi. Kepala Staf Laskar FPI. Penilaian Reza ini tak bisa dianggap enteng. FPI tercatat beberapa kali terlibat dalam aksi penutupan paksa lempat-tempat hi­buran yang dianggap berbau maksiat di Jakarta.

Johan Budi S-P., Raihul Fadjri, dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)TEMPO 26 NOVEMBER 2000 

(Diposting oleh Uki Darban)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *